9.9.09

Renungan Ramadhan

Puasa, Dusta, dan Bencana
Oleh: Bashori Muchsin

Aku mengamati semua sahabat dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah. Saya memikirkan semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberikan nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezeki, tapi tidak menemukan rezeki yang lebih baik daripada sabar. (Khalifah Umar)

Yang disampaikan Umar tersebut mengingatkan kita bahwa salah satu anatomi tubuh manusia yang menentukan adalah lidah. Berkat lidah kita, masyarakat dan negeri ini selamat dan menjadi kuat. Berkat lidah pula, masyarakat dan negeri ini bisa terpuruk sekarat.

Dari lidah, seseorang bisa disuruh, diperintah, atau dijadikan objek sabda pandhita ratu. Dari lidah, bisa dikeluarkan rekomendasi, memo, atau instruksi untuk melakukan sesuatu yang semula terbilang sulit dan mission imposible. Dari lidah, dakwah bil-lisan yang bercorak (bermuatan) penyejahteraan dan pemanusiaan manusia bisa dilakukan dan disosialisasikan.

Sebaliknya, dari lidah kita, berbagai bentuk rekayasa kekuasaan seperti penyimpangan etika birokrasi dan penodaan sumpah jabatan bisa marak di mana-mana dan mengultur. Dari rekayasa kekuasaan ini, misi sakral negara yang bersifat membebaskan dan memartabatkan rakyat akhirnya terjegal dan digantikan oleh misi pengistimewaan kepentingan pribadi dan supremasi kroni. Negara yang menurut Ibnu Khaldun sebenarnya berperan strategis dalam melahirkan perubahan besar dalam peradaban manusia, akhirnya disegel oleh pilar-pilarnya ke wilayah ''petaka komplikatif".

Adagium yang cukup populer menyebutkan ''siapa menabur angin akan menuai badai", atau siapa menunjukkan sikap, perkataan, dan perbuatan buruk, tercela, atau kotor, maka dia akan menuai akibat buruknya. Dampak buruk itu ada yang berskala kecil atau besar, bergantung jenis ucapan (lidah), sikap, dan perbuatan buruk yang dilakukan.

Bencana dalam kehidupan keseharian kita pun demikian. Ada yang kecil atau besar, ada yang bersifat privat, dan ada pula yang bersifat publik. Korban bencana itu pun mengiringi jenis bencana yang terjadi. Kalau bencananya bersifat privat, yang menjadi korban pun terbatas. Kalau bencananya di wilayah publik, yang jadi korban pun bisa berlapis-lapis.

Dalam wilayah privat, anak bisa menjadi korban bencana perceraian yang dilakukan atau ''dihalalkan" oleh orang tuanya. Sebut, misalnya, selebriti (artis) yang gemar kawin-cerai tak bisa dimungkiri bahwa opsi itu mendatangkan ''bencana" tersendiri bagi perkembangan (pertumbuhan) fisik maupun psikologis anak-anaknya.

Dalam wilayah publik, sudah demikian sering kita saksikan korban bencana yang berhubungan dengan ucapan, sikap, dan perbuatan buruk yang terjadi di masyarakat, khususnya yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang yang didaulat menjadi pemegang amanat.

Di lingkaran privat saja, seseorang yang gagal menjaga ''kesahihan" dan kesalehan lidahnya atau tak teguh menjaga kejujuran dan ''menghalalkan" (menabur) dusta, yang antara lain bisa dibaca dalam kasus punya ''orang ketiga" (the other man-the other woman), dapat mendatangkan bencana, baik perceraian maupun kriminalitas. Karena itu, tak bisa dibayangkan besarnya bencana bila orang yang lidahnya tak sahih atau tak jujur tersebut berasal dari kalangan pemegang amanat.

Ketidaksahihan pemegang amanat itu memang realitasnya telah menghadirkan banyak ''badai" (bencana) di negeri ini. Sudah sangat sering diberitakan tentang ringkih atau mudah retak dan ambruknya konstruksi jembatan, gedung, atau fasilitas publik lainnya yang berhubungan dengan praktik pendustaan yang dilakukan oknum pemegang amanat lewat cara-cara markup.

Tidak sedikit pula oknum pejabat yang ketika awal menjabat di pos strategis sangat fasih mengucapkan "demi Allah" saat dilantik, namun ketika roda jabatannya berjalan, kesucian sumpah jabatannya dilindas oleh roda kepentingan yang berputar, yang menawarkan keuntungan besar dari pembabatan atau penghancuran hutan lindung, yang diaktori oleh kriminal-kriminal dari negara tetangga. Padahal, jelas-jelas ongkos ucapan, sikap, dan perilaku berlebihan itu dapat menghancurkan dan bahkan ''mengubur" negeri ini.

Allah menyebut dalam firman-Nya, ''Dan bila kami ingin menghancurkan sebuah negeri, Kami suruh kelompok matraf-nya (membaca peringatan Kami), tapi malah mereka menja­di fasik (melewati batas dan berfoya-foya). Oleh sebab itu, pantaslah mereka diberi azab, lalu Kami hancurkanlah (negeri itu) sehancur-hancurnya" (QS 17: 16).

Ayat tersebut mengandung prinsip kausalitas ''siapa menabur angin akan menuai badai". Siapa pun yang terlibat sebagai pelaku, pelindung, dan pembenar perbuatan melampui batas seperti menghancurkan atau mengapitalismekan sumber daya alam, maka bencana besar bisa menimpanya. Gempa yang bersifat menghancur-leburkan negara ini, melebihi tsunami Aceh, bukan tak mungkin bisa terjadi bila manusia tetap meneruskan aksi kezaliman secara berlapis dan bahkan absolut.

Momentum Ramadan yang sudah mulai diingatkan dengan kehadiran ''tamu" (bencana) selayaknya menyadarkan masyarakat Indonesia bahwa lidahnya telah sekian lama tergelincir dalam ketidaksahihan dan ketidaksalehan sehingga wajib hukumnya dipuasakan. Lidahnya selama ini tak nyaring menyuarakan keadilan dan kemanusiaan, atau tak ''dipuasakan'' dari kefasihan memerintahkan penyimpangan dan pengebirian hak publik.

Puasanya seharusnya mengembalikan derajat kemanusiaannya sebagai khalifah, yang oleh Rais Aam PB NU KH M.A. Sahal Mahfudz disebut sebagai makhluk yang dimuliakan oleh Allah di atas makhluk yang lainnya di muka bumi ini. Pengertian khalifah ini ber­fungsi penugasan dan pembebasan (taklif) untuk melaksanakan tugas-tugas kehidupan bermodal kekuatan fisik dan berpi­kir. Pembebasan yang jadi tugas kekhalifahan manusia itu, antara lain, mewujudkan perubahan. (*)

*). Bashori Muchsin, guru besar dan pembantu rektor II Universitas Islam Malang dan penulis buku '' Pendidikan Islam Kontemporer''

(Diambil dari Jawa Post, Kamis, 10 September 2009)

14.8.09

Lelaki dan Layang-Layang


Kota ini terdiam dalam keheningan dan dinginnya malam. Sepertinya, kota tempat aku menata mimpi mulai tertidur lelap dan yang terasa hanya kesendirian. Salah satu hal yang aku senangi adalah berpikir dalam gelap, bahkan menangis dalam gelap. Aku pejamkan mataku kuat, mulai membayangkan seperti apa gelapnya kuburku nanti. Segera aku buka mata secepatnya.

Peristiwa lima bulan yang lalu benar-benar masih melekat kuat dalam ingatan, bahkan hingga detik ini. Sebenarnya, jiwaku memberontak dengan apa yang telah aku perbuat terhadap diriku sendiri. Waktu itu aku benar-benar tak berdaya, hanya diam lalu menangis. Bagiku, dunia tak ada lagi. Banyak hal yang harus dipersiapkan ketika cinta hadir karena cinta akan mengubah banyak hal. Beberapa teman terdekatku pun mengatakan bahwa mereka tak merasakan diriku yang tegas dan berani ambil keputusan.

"Mungkin kamu diguna-guna!" Ain mulai tak sabar karena tak satu pun kutanggapi dengan serius. "Kamu denger nggak sih! Kamu nggak bisa kayak gini terus, sudah satu minggu!"

Dalam gelap aku tersenyum mengingat semua yang telah terjadi. Rapuhnya aku karena kehilangan Aji membuatku tak menghiraukan tugas-tugas yang menumpuk, melupakan teman-teman yang selalu ada untukku. Tapi, hatiku tak bisa memungkiri semuanya, aku mengharapkannya dan malam ini aku merindunya. Rindu yang kutujukan untuk dia yang telah membuat peta hidupku berubah dalam sekejap. Dia yang mampu menguasai hari-�hariku tanpa syarat aku menyerah. Menyerah untuk memberikan cinta terindah yang aku simpan dalam diam.

Kesempatan emas yang aku tunggu-tunggu berlalu begitu saja. Karena yang paling berharga saat itu adalah aku tak ingin Aji menjadi milik orang lain. Hal gila yang telah aku lakukan adalah harus mengatakan cinta kepadanya agar wanita yang dipilihnya adalah aku. Tanpa hati dia menerimaku hanya satu jam, lalu memutuskanku dan mengatakan bahwa dia tidak memilihku.

Sebenarnya dia tahu bahwa aku memiliki perasaan yang lain untuknya, tak lagi menganggapnya sebagai teman. Semakin aku mengingat apa yang telah dilakukannya untukku, semakin aku merindunya.

"Kamu tahu, waktu kecil aku suka mengejar layang-layang. Pernah aku sudah mendapatkannya, tapi teman-teman masih berambisi untuk memilikinya."

"Akhirnya?" Aku memotong ceritanya tentang masa kecilnya.

"Aku dapat layang-layang rusak. Sedih rasanya waktu itu." Matanya menerawang bersama masa kecilnya

"Aku ingin seperti layang-layang itu," kataku.

"Aku ingin cintamu seperti layang-layang itu. Aku ingin kamu tak akan melepas aku begitu saja." Dia pun tersenyum. Senyum yang bermakna bahwa dia akan melepasku.

Keputusan yang telah dibuatnya tetap saja membuatku tak menerima. Sebagai laki-laki sejati dia tidak memiliki keberanian bersikap sedikit pun. Aku labil begitu pula dirinya.

"Aku sudah memutuskan Eva," katanya dalam telepon pagi itu.

Aku di antara senang dan sedih. Sebelum aku mengatakan bahwa aku suka kepadanya, dia telah menyatakan suka kepada wanita lain, yaitu Eva. Aku hadir dalam waktu yang sangat tidak tepat. Waktu itu aku meminta kepadanya tidak meninggalkanku untuk sementara. Dia pun menyanggupi. Selama dia ada bersamaku, dia menyadari bahwa sebenarnya ada cinta untukku.

"Dia marah. Sebab, menurutnya aku plin-plan dalam bersikap. Aku memang mengatakan suka kepadanya, tetapi dia tidak berani berkomitmen, dan aku tidak ingin hubungan yang terjalin tanpa arah. Komitmen itu aku dapatkan darimu."

"Eh, ada SMS dari Eva," katanya tiba-tiba, aku terhenyak, takut.

"Dia memintaku untuk menghubunginya segera, kamu gak usah takut, nanti aku hubungi lagi. Gak apa-apa kan, kamu jangan takut."

Hampir satu jam lebih aku menunggunya untuk menghubungiku lagi. Entah apa yang terjadi.

"Eva mengubah keputusan. Dia berani berkomitmen." Tanpa kuminta dia langsung menjelaskan. Aku hanya diam tak tahu harus berkata apa. "Kamu pasti bisa jalani semuanya." Itu kata-kata terakhirnya dalam telepon.

Malam makin menua, tak terasa pipiku basah mengingat semuanya. Dia adalah lelaki layang-layang yang terbang tinggi dan pergi bersama angin. Dan aku tidak akan pernah tahu ke mana dia pergi untuk mendarat, mendaratkan hatinya. Awalnya aku ingin hanya mencintainya dalam diam, semakin aku menyimpannya semakin aku rapuh karenanya.

Begitu banyak kata-kata yang dia ucapkan, tapi tak satu pun yang ditepatinya. Ternyata aku belum berkemas untuk melupakan semua tentangnya. Malam ini aku insomnia untuk sekian kalinya. Kunyalakan lampu kamar dan aku cari semua tentang dia. ***

Penulis: Endah Tri Utari Amboina

Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang
[Jawa Post, Senin, 02 Februari 2009]

Pohon Perdamaian

Pohon Perdamaian
Pohon "Sumpah Gajah Mada" mojo di Jepret di Hotel Manohara Borobudur