14.8.09

Lelaki dan Layang-Layang


Kota ini terdiam dalam keheningan dan dinginnya malam. Sepertinya, kota tempat aku menata mimpi mulai tertidur lelap dan yang terasa hanya kesendirian. Salah satu hal yang aku senangi adalah berpikir dalam gelap, bahkan menangis dalam gelap. Aku pejamkan mataku kuat, mulai membayangkan seperti apa gelapnya kuburku nanti. Segera aku buka mata secepatnya.

Peristiwa lima bulan yang lalu benar-benar masih melekat kuat dalam ingatan, bahkan hingga detik ini. Sebenarnya, jiwaku memberontak dengan apa yang telah aku perbuat terhadap diriku sendiri. Waktu itu aku benar-benar tak berdaya, hanya diam lalu menangis. Bagiku, dunia tak ada lagi. Banyak hal yang harus dipersiapkan ketika cinta hadir karena cinta akan mengubah banyak hal. Beberapa teman terdekatku pun mengatakan bahwa mereka tak merasakan diriku yang tegas dan berani ambil keputusan.

"Mungkin kamu diguna-guna!" Ain mulai tak sabar karena tak satu pun kutanggapi dengan serius. "Kamu denger nggak sih! Kamu nggak bisa kayak gini terus, sudah satu minggu!"

Dalam gelap aku tersenyum mengingat semua yang telah terjadi. Rapuhnya aku karena kehilangan Aji membuatku tak menghiraukan tugas-tugas yang menumpuk, melupakan teman-teman yang selalu ada untukku. Tapi, hatiku tak bisa memungkiri semuanya, aku mengharapkannya dan malam ini aku merindunya. Rindu yang kutujukan untuk dia yang telah membuat peta hidupku berubah dalam sekejap. Dia yang mampu menguasai hari-�hariku tanpa syarat aku menyerah. Menyerah untuk memberikan cinta terindah yang aku simpan dalam diam.

Kesempatan emas yang aku tunggu-tunggu berlalu begitu saja. Karena yang paling berharga saat itu adalah aku tak ingin Aji menjadi milik orang lain. Hal gila yang telah aku lakukan adalah harus mengatakan cinta kepadanya agar wanita yang dipilihnya adalah aku. Tanpa hati dia menerimaku hanya satu jam, lalu memutuskanku dan mengatakan bahwa dia tidak memilihku.

Sebenarnya dia tahu bahwa aku memiliki perasaan yang lain untuknya, tak lagi menganggapnya sebagai teman. Semakin aku mengingat apa yang telah dilakukannya untukku, semakin aku merindunya.

"Kamu tahu, waktu kecil aku suka mengejar layang-layang. Pernah aku sudah mendapatkannya, tapi teman-teman masih berambisi untuk memilikinya."

"Akhirnya?" Aku memotong ceritanya tentang masa kecilnya.

"Aku dapat layang-layang rusak. Sedih rasanya waktu itu." Matanya menerawang bersama masa kecilnya

"Aku ingin seperti layang-layang itu," kataku.

"Aku ingin cintamu seperti layang-layang itu. Aku ingin kamu tak akan melepas aku begitu saja." Dia pun tersenyum. Senyum yang bermakna bahwa dia akan melepasku.

Keputusan yang telah dibuatnya tetap saja membuatku tak menerima. Sebagai laki-laki sejati dia tidak memiliki keberanian bersikap sedikit pun. Aku labil begitu pula dirinya.

"Aku sudah memutuskan Eva," katanya dalam telepon pagi itu.

Aku di antara senang dan sedih. Sebelum aku mengatakan bahwa aku suka kepadanya, dia telah menyatakan suka kepada wanita lain, yaitu Eva. Aku hadir dalam waktu yang sangat tidak tepat. Waktu itu aku meminta kepadanya tidak meninggalkanku untuk sementara. Dia pun menyanggupi. Selama dia ada bersamaku, dia menyadari bahwa sebenarnya ada cinta untukku.

"Dia marah. Sebab, menurutnya aku plin-plan dalam bersikap. Aku memang mengatakan suka kepadanya, tetapi dia tidak berani berkomitmen, dan aku tidak ingin hubungan yang terjalin tanpa arah. Komitmen itu aku dapatkan darimu."

"Eh, ada SMS dari Eva," katanya tiba-tiba, aku terhenyak, takut.

"Dia memintaku untuk menghubunginya segera, kamu gak usah takut, nanti aku hubungi lagi. Gak apa-apa kan, kamu jangan takut."

Hampir satu jam lebih aku menunggunya untuk menghubungiku lagi. Entah apa yang terjadi.

"Eva mengubah keputusan. Dia berani berkomitmen." Tanpa kuminta dia langsung menjelaskan. Aku hanya diam tak tahu harus berkata apa. "Kamu pasti bisa jalani semuanya." Itu kata-kata terakhirnya dalam telepon.

Malam makin menua, tak terasa pipiku basah mengingat semuanya. Dia adalah lelaki layang-layang yang terbang tinggi dan pergi bersama angin. Dan aku tidak akan pernah tahu ke mana dia pergi untuk mendarat, mendaratkan hatinya. Awalnya aku ingin hanya mencintainya dalam diam, semakin aku menyimpannya semakin aku rapuh karenanya.

Begitu banyak kata-kata yang dia ucapkan, tapi tak satu pun yang ditepatinya. Ternyata aku belum berkemas untuk melupakan semua tentangnya. Malam ini aku insomnia untuk sekian kalinya. Kunyalakan lampu kamar dan aku cari semua tentang dia. ***

Penulis: Endah Tri Utari Amboina

Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang
[Jawa Post, Senin, 02 Februari 2009]

0 komentar:

Pohon Perdamaian

Pohon Perdamaian
Pohon "Sumpah Gajah Mada" mojo di Jepret di Hotel Manohara Borobudur